Jumat, 08 Mei 2015

Semesta, Kopi, dan Masih Tentang Rindu Yang Mengendap

Pukul dua dini hari, langit tak menyisakan apa-apa selain dingin dan sepi yang mengendap di dasar cangkir kopi.
Selamat malam kebahagiaanmu. Rayakanlah sampai mabuk, bayangkan aku ada di dalam bergelas-gelas arak yang kau teguk.

Selama ada kamu, malamku takkan sendiri, hangat dan harummu adalah candu, ialah secangkir kopi teman sejatiku.
Selamat malam, kelam. Lihatlah rinduku yang mulai bersemayam dalam diam. 
Jangan hanya memandang pekat pada kopiku, tidak inginkah kau rasakan hangat dan manisnya?
Ada beberapa orang yang menitipkan sedihnya dalam puisiku, tanpa tahu aku sudah mati ketika menuliskan kata-kata rindu.
Selepas kau menghilang, puisiku lebih banyak spasi, ruang kosong tak terisi.

Rindu seperti padang alang-alang, disanalah aku kupu-kupu yang lupa jalan pulang.
Langit malam tanpa bintang, secangkir luka di beranda, aku tak pernah tahu kesedihan bisa seterang ini.
Malam ini aku menjamu rindu, dan kamu menjadi hujan yang menghangatkan pilu.
Takdir yang kemudian adalah tetes hujan. Kau tak bisa mengembalikannya begitu saja pada langit.
Hujan datang (lagi), rindu menuang kopi, aku memahat sunyi.
Hujan, kesedihan apalagi yang langit tangisi malam ini?
Kau meng-esa dalam derai hujan paling pagi, sementara hanya kopi dan sendiri yang ada di meja ini. 
Hujan, kopi, dan kerinduan yang tak mengerti untuk siapa. 
Tinggalkan saja ampasnya jika ingin pergi, tapi datanglah kembali jika rindu sewangi kopi malam ini, seduh aku dengan rindumu.

Diantara tetes embun yang jatuh, tersisa air mataku, mengucap takut pada kehilangan, melambai resah pada dedaunan.
Embun adalah puncak kesunyian pagi yang membasuh luka pada orang-orang yang merindu.
Dia embun, saban hari mengetuk jendela kamarku, mengusap lembut ingatanku yang lembab dalam rindu.

Pagi, kopi dan masih kamu yang ada di kepala ini, barangkali itu alasan langit menghadiahi aku hujan lagi, barangkali.
Dalam secangkir kopi, kesedihan tak membutuhkan pelukan, biarkan jeritmu yang tertahan, mengendap dalam gelas kehidupan.
Saya suka pagi, wangi kopi dan kamu yang mengembun di hati.
Pagi adalah harapan untuk segala, termasuk sesuatu yang tak mungkin ada.
Pagi selalu punya cara untuk menciptakan kerinduan di hati, menari-nari dalam cangkir kopi.
Pagi hari kesukaanku, bekas hujan dan bau rindu.

Kau dan sebuah anonim yang bersemayam dalam hati, sepertinya hanya bisa ku ceritakan pada secangkir pagi.
Bel berbunyi; kukira kau datang, ternyata hanya angin yang menitipkan sunyi.
Seringkali bertanya, ketika kesedihan menyapa, kemana perginya bahagia.
Mencintai adalah belajar memeluk, sekalipun tak nampak di pelupuk.
Harapan kekasih; adalah puisi yang tak mampu aku tuliskan pada garis tangan.

Aku yang puisi, cuma bisa menulis kamu, sepi dan rindu.
Aku sajak yang sendiri, kau rindu yang paling sunyi, harusnya kita bisa saling memeluk diantara sepi.
Engkaulah puisi itu, waktu kudekap tubuhmu dalam diam, lalu rinduku bersatu.
Kelak kau akan bertemu pagi yang paling sepi dan segenggam hal yang nyeri, saat itu tiba, nikmatilah kopi serta mulailah menulis puisi.
Tulislah puisi untukku, paling tidak aku tahu, ada sisa rindu di pagimu.
Kelak bila kau rindu, datanglah ke dalam puisiku. Atau mungkin bila kita sama-sama bermalam dalam kata-kata, bagaimana?

Sederhananya begini, bila kau tiada, hatiku menjelma pusara, rindu dan puisi terkubur disana.
Tinggallah disini, menemani mimpi, walau esok pagi bagiku, kau tetap rindu yang mati sendiri.
Bila bertemu, sisakan satu pelukan panjang, sebelum perpisahan mengelurkan tangan, mengajakmu pulang.


Love, 
hiksyanisanie.

3 komentar:

  1. aaaaaahh... keren sekali saniiee..
    diajak bernalar bacanya .
    keep write . keep blogging

    BalasHapus
  2. Alhamdulillah...
    terimakasih kesediaan waktunya membaca tulisanku kak Qiah :')
    masih terus belajar kak...

    BalasHapus