Rabu, 20 Mei 2015

Lelaki Asing dan Rindu yang Menyeruak

badanku lelah, semakin lelah...ketika ternyata bukan pelukmu yang terkembang, dan bukan kau yang menyeka keringat di dahiku, rindu.

bingung, harus gimana sebenarnya. 
Lelaki asing yang kukenal, kini sulit lagi aku menemukannya, tidak di dunia nyata, setidaknya ada suara dan dia terkadang mampir sejenak lewat mimpi.
Rindu, adalah kasta teratas dari perasaan yang paling mudah dikenali, bukan?
Dialah yang hari demi hari, rindu yang membawaku selalu bergetar, seiring dengan percakapan itu. ada yang aneh antara aku dan kamu, lebih tepatnya padaku. apa yang membuat seketika rindu iti menyeruak ke permukaan?

komunikasi yang tidak begitu lancar, memang yang membuat rindu perlahan terbit. sementara, nampak seperti senja, tapi akan selalu kembali. kamu mungkin akan menghindar perlahan, tapi tolong hargai sedikit kerinduan yang disebabkan olehmu. kata orang, rindu ya...ketemu trus pelukan. aku tidak meminta banyak, melihatmu kembali dengan waktu yang cukup untuk aku meluapkan rindu meski hanya lewat tatapan. 

kepada kamu yang sedang dirindukan, semoga kamu pernah dan betul-betul merasa dirindu, bukan lalu mengabaikan.
dimanapun kamu berada, siapapun yang berada disampingmu, tolong beritahu dia...jagakan kamu agar tetap baik-baik saja, setidaknya untuk saya. 

kemudian, aku tersadar...
ternyata ada kerinduan yang tumpah ruah, lalu membuncah seketika mana kala pelukmu selalu yang ingin aku tuju. 
malam ku semakin dingin, berharap ada setidaknya suaramu yang membungkus hangat telinga dan hatiku, setidaknya cukup untukku. 
kemudian pagiku terbit, namun ternyata ada kamu yang masih lebih dulu dari pada matahari yang sedang mengitari mataku yang tersengat cahaya samar dari balik jendela dipenuhi rasa rindu. 

aku sungguh tak tahan lagi dengan rindu yang menyiksa bagian dadaku. 
lalu aku bercerita pada malam di pangkuan ibuku, tentangmu yang asing.
ibuku mengusap helaian rambutku, lalu berkata "rindu takkan pernah berkesudahan jika hanya dibibir dan dihati. adakalanya dia segera harus di jelaskan agar tidak menimbulkan goncangan yang lebih besar disekujur tubuh, ketika bertemu lalu kamu tak dapat berbuat apa-apa"

segera, dengan segera aku menyebutmu dalam hati, lelaki asing. sungguh, demi semesta yang mengatur kerinduan dalam jangka waktu, aku menyerah. 
menyerah pada ketidakberdayaan hatiku menampung kemudian, membuat lututku bergetar setiap mendengar suaramu. 

jika boleh kuminta satu hal padamu...
aku hanya ingin berada di pelukmu, sejenak sampai akhirnya rinduku habis. dan mulai saat itu, mungkin aku sudah kembali menabung rindu, untuk kamu yang kian asing.



withLove,
hiksyanisan

Jumat, 08 Mei 2015

Semesta, Kopi, dan Masih Tentang Rindu Yang Mengendap

Pukul dua dini hari, langit tak menyisakan apa-apa selain dingin dan sepi yang mengendap di dasar cangkir kopi.
Selamat malam kebahagiaanmu. Rayakanlah sampai mabuk, bayangkan aku ada di dalam bergelas-gelas arak yang kau teguk.

Selama ada kamu, malamku takkan sendiri, hangat dan harummu adalah candu, ialah secangkir kopi teman sejatiku.
Selamat malam, kelam. Lihatlah rinduku yang mulai bersemayam dalam diam. 
Jangan hanya memandang pekat pada kopiku, tidak inginkah kau rasakan hangat dan manisnya?
Ada beberapa orang yang menitipkan sedihnya dalam puisiku, tanpa tahu aku sudah mati ketika menuliskan kata-kata rindu.
Selepas kau menghilang, puisiku lebih banyak spasi, ruang kosong tak terisi.

Rindu seperti padang alang-alang, disanalah aku kupu-kupu yang lupa jalan pulang.
Langit malam tanpa bintang, secangkir luka di beranda, aku tak pernah tahu kesedihan bisa seterang ini.
Malam ini aku menjamu rindu, dan kamu menjadi hujan yang menghangatkan pilu.
Takdir yang kemudian adalah tetes hujan. Kau tak bisa mengembalikannya begitu saja pada langit.
Hujan datang (lagi), rindu menuang kopi, aku memahat sunyi.
Hujan, kesedihan apalagi yang langit tangisi malam ini?
Kau meng-esa dalam derai hujan paling pagi, sementara hanya kopi dan sendiri yang ada di meja ini. 
Hujan, kopi, dan kerinduan yang tak mengerti untuk siapa. 
Tinggalkan saja ampasnya jika ingin pergi, tapi datanglah kembali jika rindu sewangi kopi malam ini, seduh aku dengan rindumu.

Diantara tetes embun yang jatuh, tersisa air mataku, mengucap takut pada kehilangan, melambai resah pada dedaunan.
Embun adalah puncak kesunyian pagi yang membasuh luka pada orang-orang yang merindu.
Dia embun, saban hari mengetuk jendela kamarku, mengusap lembut ingatanku yang lembab dalam rindu.

Pagi, kopi dan masih kamu yang ada di kepala ini, barangkali itu alasan langit menghadiahi aku hujan lagi, barangkali.
Dalam secangkir kopi, kesedihan tak membutuhkan pelukan, biarkan jeritmu yang tertahan, mengendap dalam gelas kehidupan.
Saya suka pagi, wangi kopi dan kamu yang mengembun di hati.
Pagi adalah harapan untuk segala, termasuk sesuatu yang tak mungkin ada.
Pagi selalu punya cara untuk menciptakan kerinduan di hati, menari-nari dalam cangkir kopi.
Pagi hari kesukaanku, bekas hujan dan bau rindu.

Kau dan sebuah anonim yang bersemayam dalam hati, sepertinya hanya bisa ku ceritakan pada secangkir pagi.
Bel berbunyi; kukira kau datang, ternyata hanya angin yang menitipkan sunyi.
Seringkali bertanya, ketika kesedihan menyapa, kemana perginya bahagia.
Mencintai adalah belajar memeluk, sekalipun tak nampak di pelupuk.
Harapan kekasih; adalah puisi yang tak mampu aku tuliskan pada garis tangan.

Aku yang puisi, cuma bisa menulis kamu, sepi dan rindu.
Aku sajak yang sendiri, kau rindu yang paling sunyi, harusnya kita bisa saling memeluk diantara sepi.
Engkaulah puisi itu, waktu kudekap tubuhmu dalam diam, lalu rinduku bersatu.
Kelak kau akan bertemu pagi yang paling sepi dan segenggam hal yang nyeri, saat itu tiba, nikmatilah kopi serta mulailah menulis puisi.
Tulislah puisi untukku, paling tidak aku tahu, ada sisa rindu di pagimu.
Kelak bila kau rindu, datanglah ke dalam puisiku. Atau mungkin bila kita sama-sama bermalam dalam kata-kata, bagaimana?

Sederhananya begini, bila kau tiada, hatiku menjelma pusara, rindu dan puisi terkubur disana.
Tinggallah disini, menemani mimpi, walau esok pagi bagiku, kau tetap rindu yang mati sendiri.
Bila bertemu, sisakan satu pelukan panjang, sebelum perpisahan mengelurkan tangan, mengajakmu pulang.


Love, 
hiksyanisanie.